Anda Pengunjung Ke

Rabu, 24 September 2008

SINISME DAN HEDONISME DALAM BERJAMAAH

Berikut ini adalah tulisan dari Bramastyo Bontas P yang sejalan untuk melengkapi tulisanku sebelumnya yang kami ambil dari kumpulan tulisannya. Beliau mengupas dari mulai sejarah, pengertian dan ragam sinisme dan hedonisme. Semoga dapat melengkapi pengetahuan kita.

---Afif Romadlon---

A. Sejarah Sinisme dan Hedonisme

Sejarah mengenai sinisme dan hedonisme adalah sejarah filsafat menuju kebaikan. Hanya pada perkembangannya setelah jaman Romawi kuno pengertian tersebut berubah menjadi konotatif. Berikut ini adalah gambaran sejarah sinisme dan hedonisme, agar kita mengerti betul mengenai hal tersebut.


1. Sinisme

Tokoh utama adalah Antithenes ( ca. Tahun 455-360). ia mengajar dalam gymnasion di Athena yang bernama Kynosarges (tempat latihan anjing-anjing). Karena itu dan juga karena mereka menolak adat istiadat tradisional, pengikut-pengikut mazhab ini diberi julukan Kynokoi yang berasal dari kata Yunani Kyon (anjing). Kata-kata inggris seperti cynism, cynic, dan cynical diturunkan dari nama julukan tadi. Antithnes adalah murid Gorgias dan kemudian ia menjadi salah seorang pengikut Socrates yang paling setia. Dalam bidang dialektika ia menentang teori Plato mengenai idea-idea yang berdiri sendiri. Dalam bidang etika ia beranggapan bahwa manusia mempunyai keutamaan, bila ia tahu melepaskan diri dari barang jasmani dan segala macam kesenangan, seperti telah dipraktikan oleh Sokrates. Karena kesenangan adalah musuh besar bagi orang yan ingin hidup bahagia. Seorang bijaksana tidaklah tergantung dari sesuatupun dan akibatnya hidup swasembada.

Diogenes dari Sinope (ca. Tahun400-325) berpendapat bahwa praktik hidup Antithenes tidak sesuai dengan ajarannya. Dan ia sendiri konsekuen menurut prinsip-prinsip sinisme. Di kemudan hari ia terkenal karena cara hidupnya yang mengabaikan segala adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat sekitarnya. Banyak legenda telah diceritakan oelh Diogenes ini antara lain bahwa ia memilih sebuah tong sebagai tempat kediamannya.

Konon suatu hari Socrates sedang berdiri menatap sebuah kedai yang menjual segala macam barang. Akhirnya dia berkata, “betapa banyak benda yang tidak dkuperlukan” pertanyaan ini bisa jadi merupakan motto aliran filsafat Sinis, yang didirikan oleh Antithenes di Athena sekitar 400SM. Antihtenes pernah menjadi murid Socrates, dan sangat tertarik pada kesederhanaannya. Kaum sinis menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak terdapat dalam kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi, kekuasaan politik, atau kesehatan yang baik. Kebahagiaan sejati terletak pada ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan mengambang. Dan karena kebahagiaan tidak terletak pada keuntungan-keuntungan semacam ini, maka semua orang dapat meraihnya. Lebih-lebih, begitu diraih, ia tidak akan pernah lepas lagi. Kaum sinis percaya bahwa orang tidak perlu memikirkan kesehatan diri mereka. Bahkan penderitaan dan kematian tidak boleh mengganggu mereka. Pun mreka tidak boleh membiarkan diri tersiksa karena memikirkan kesengsaraan orang lain. Kini, istilah sinis dan sinisme ketidakpercayaan yang mengandung cemooh pada ketulusan manusia, dan kedua istilah itu menunjukkan ketidakpekaan terhadap orang lain.

2. Hedonis

Arustippos (ca.tahun 435-355) adalah murid sokrates yang dianggap sebagau pendiri mazhab Kyrene. Mazhab ini juga dinamakan mazhab Hedonis, karena ajarnanya dalam bidang etika. Aristippos dan murid-muridnya menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan tidak lain daripada mencari yang lebih baik. Tetapi mereka menyamakan 'yang baik' itu dengan kesenangan (hedone). Dan Aristippos menerangkan bahwa maksudnya ialah kesenangan badani dan bukan saja kesenangan rohani. Dari sebab itu pendirian ini disebut 'hedonisme'. Akan tetapi seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan tanpa batas, karena kesenangan yang tak terbatas pada akhirnya mengakibatkan kesusahan. Rasio manusia bertugas menentukan maksimum dan minimum itu. Jadi, dalam perspektif hedonisme, pengendalian diri dan pertakaran perlu sekali untuk mencapai cara hidup yang ideal. Biarpun sinisme dan hedonisme bertolak dari prinsip-prinsip yang sama sekali berbeda namun dalam praktik kedua pendirian tidak berbeda besar.

3. Hedonisme dan Epikuros

Dalam pemikiran Epikuros, menyebutkan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan yang tahu diri. Seperti kebanyakan seluruh etika yunani, Epikuros menunjukkan bagaimana manusia dapat hidup dengan sebahagia mungkin dalam suatu kehidupan yang banyak goncangannya. Untuk itu manusia harus mengusahakan kesenangan. Makin manusia hidup dalam kesenangan makin bahagia dia. Maka Epikuros seorang Hedonis. Tetapi hedonis yang canggih. Kesenangan yang mantap tidak tercapai dengan mencari pengalaman nikmat sebanyak mungkin, melainkan dengan menjaga kesehatan dan berusaha hidup sedemikian rupa hingga jiwa bebas dari keresahan.


Maka manusia yang mau bahagia justru harus membatasi diri. Ia harus dapat senang dengan sedikit saja. Ia harus memakai nalar untuk mempertimbangkan keinginan mana yang dipenuhi dan mana yang tidak. Nikmat berlebihan dapat menghasilkan perasaan sakit, dan apabila kita selalu menghindar dari apapin yang menyakitkan, banyak pengalaman menyenangkan justru tidak akan tercapai.


Maka perlu usaha ke dua arah. Di satu pihak, orang harus belajar untuk hidup sederhana, untuk puas dengan seadanya. Dan di pihak lain, ia harus memakai pemikirannya untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang tidak perlu. Kebahagiaan Epikuros adalah kebahagiaan kecil yang menarik diri dari dunia, yang tidak terlibat dalam politik, yang di tengah-tengah kesusahan memelihara kebun ketentramannya dengan aman. Dibandingkan dengn Plato dan Aristoteles, tetapi juga dengan Stoa, wawasan kebahagiaan Epikuros sangat sederhana. Hal 55

B. Hedonisme dan Sinisme yang Negatif

Dengan melihat kondisi manusia yang terdiri dari aspek jasmani dan ruhani, sesungguhnya paham yang cenderung menitik beratkan pada salah satu aspek tidak dapt dielakkan. Hedonime pada prinsipnya menitikberatkan kebutuhan jasmani daripada ruhani. Sehingga sejak awal sejarah manusia, hedonisme dengan berbagai versi serta aktualisasinya, sadar atau tidak sadar, akan selalu muncul. Hanya saja, fenomena hedonisme, diakhir abad ini sudah sedemikian meluas dan mencolok apabila dibandingkan dengan masa lalu.


Hedonisme di Indonesia saat ini merupakan fenomena paham perilaku yang khas negara berkembang. Perilaku tanggung dalam menangkap modernitas sebagai nilai. Simbol modernitas ditangkap sebagai “barang jadi” dan tidak memahami proses yang mendahuluinya. Pemilikan barang-barang mutakhir yang bercirikan teknologi tingi adalah ciri kemodernan dan merupakan prsetasi yang harus dikejar, dan karena itu mempunyai prestise tersendiri. “memilikinya” jauh lebih mempunyai makna dari menguasainya secara fungsional. Simbol-simbol lahiriah seperti arsitektur krumah kediaman, pusat-pusat perbelanjaan modern, makanan modern, gaya hidup itu harus meniru bangsa modern dan itu identik dengan barat. Tentu saja di sisi lain, apa yang saja berbau “tradisional”, kendatipun itu milik kita sendiri harus dianggap ketinggalan jaman dan harus ditinggalkan.


Persepsi seperti itu telah merusak semua lini masyarakat (pemimpin, pejabat, masyarakat). Ukuran-ukuran keberhasilan hidup tidak lagi pada keunggulan ruhaniah, tetapi pada kelebihan jasmaniah semata-mata. Norma menjadi longgar, karena apapun dapat dilakukan untuk menuju keberhasilan di bidang jasmani dan materi.


Lain lagi dengan sinisme. Golongan mereka yang seperti ini kerap menjelek-jelekkan semuanya. Suka mencemooh, mencibir, menistakan, menggosip, lancang dan arogan. Seolah-olah hanya pada dirinya dan kelompoknya saja kebenaran dan kebaikan berada, sedangkan pihak lain bodoh dan buruk.


Orang yang sinis dekat dan hanya termotivasi oleh egoisme. Dalam mengerjakan sesuatu, ia merasa mampu, sedangkan orang lain pasti tidak becus. Ini aneh, karena ia sendiri tidak mengerjakan apa-apa, tidak dalam kapasitas diberi amanah mengerjakan sesuatu dan jujga tidak berwenang apa pun disitu. Ia sibuk berwacana. Benaknya hanya diisi syakwasangka, buruk sangka pada orang lain. Karena suka meremehkan orang lain, golongan sinis biasanya juga terkena penyakit inferior, minder, tak punya rasa percaya diri, dan mengalami krisis kepercayaan pada orang lain. Ia tentunya juga naif, pesimistis, berfikir melulu negatif dan berspirit rendah.


Secara realistik menghilangkan sama sekali dorongan ke arah pemuasan kebutuhan jasmani adalah tidak mungkin. Sebab jasmaniah juga merupakan landasan penting untuk kesempurnaan hidup terpenuhi. Nonsens apabila dikatakan kita akan bahagia tanpa kebutuhan jasmaniah terpenuhi. Tetapi salalu harus ditumbuhkan kesadaran bahwa manusia bukan sekedar mahluk jasmaniah melainkan pula mahluk ruhani. Di mana kesenangan jasmani menjadi tidak bermakna tanpa kebahagiaan yang bersifat ruhani. Tentu saja ini memerlukan sistem norma, terutama agama. Agama dalam hal ini memerlukan dataran baru yang mampu memecahkan persoalan konkret kemanusiaan. Di samping tentu saja sistem yang mengharuskan adanya perilaku pendukung yang dapat diteladani, termasuk perlu dilakukan reevaluasi program-program yang selama ini dilakukan demi meminimalisasi dampak negatifnya.


Kuncinya sederhana. Apresiasilah saja keteladanan, kedisiplinan dan konsistensi pemimpin. Kita pun tak pernah khawatir melancarkan kritik jika pemimpin memang menyimpang atau keliru

C. Menyikapi Sinisme dan Hedonisme

Diskusi tentang sinisme dan hedonisme akan lebih leluasa jika didekati melalui Konsep Evolusi Sosiokultural. Sebagai suatu pendekatan, konsep evolusi sosiokultural menawarkan telaah tentang bagaimana suatu komunitas atau lebih luas suatu masyarakat selalu berusaha beradaptasi dengan nilai-nilai baru yang berkembang di sekitarnya secara evolusioner.


Setiap masyarakat memiliki cara-cara yang khas dalam beradaptasi. Cara-cara khas tersebut bisa berupa output dari bentuk-bentuk consensus maupun konflik. Dalam masyarakat tradisional (pra-industri) proses adaptasi terhadap hal-hal baru di sekitarnya terasa amat lamban. Beda dengan masyarakat modern (industri), kecenderungan umum masyarakat tradisional masih sangat kuat bertahan pada nilai-nilai lama. Dalam masyarakat modern (industri), perkembangan nilai-nilai baru mendapatkan respon yang cukup siginifikan. Hal mana disebabkan oleh kompleksitas kebutuhan dan kepentingan masyarakat tersebut.


Hedonisme dan sinisme sebagai nilai baru yang –bukan sekedar berasal dari Barat, tepatnya berasal dari gaya hidup masyarakat industri modern yang lebih berwatak liberal. Adalah sebuah produk kebudayaan yang kini merambah ke dalam kehidupan masyarakat dunia ketiga, yang secara struktural masih sangat labil di satu sisi dan di sisi lain secara kultural masih cenderung konservatif (teguh memegang nilai-nilai tradisi lokal). Hedonisme bagi masyarakat industri modern adalah sebuah keniscayaan, namun bagi masyarakat tradisional budaya (sinisme) ini merupakan ancaman yang ditafsirkan akan selalu membawa petaka.


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hedonisme adalah bentuk dari counter culture (budaya tandingan) yang sekaligus mengandung makna korektif terhadap budaya dominan yang sangat mapan. Sekalipun demikian, hedonisme seringkali menjadi biang dari berbagai “kekacauan” tatanan kehidupan dan bahkan mengancam keselamatan suatu peradaban.


Melihat asal muasal munculnya hedonisme sebagai counter culture, maka sikap penolakan dengan tetap bertahan pada cultur dominan yang cenderung anti perubahan, seperti dalam bentuk sinisme, sangat tidak menguntungkan,. Sikap penolakan atas hedonisme mesti diimplementasikan ke dalam sikap inklusifitas. Artinya hedonisme tidak sekedar dipandang sebagai ancaman dan petaka, melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk kritik dan koreksi atas kebudayaan dominan selama ini. Asumsinya sederhana saja, ketika kebudayaan dominan telah terbuka atas kritik dan mau melakukan adaptasi atas kompleksitas kebutuhan hidup masyarakat, maka dengan sendirinya hedonisme tidak akan mendapatkan tempat. Masyarakat akan menemukan bentuk-bentuk baru dalam menjalani kehidupannya. Inilah subtansi dari sebuah pencerahan dan kemerdekaan.

-------;;-------