Anda Pengunjung Ke

Senin, 15 Desember 2008

Persatuan Merupakan Benteng Pertahanan Umat

Ahmad Feri Firman

Saya merenung dalam waktu yang cukup panjang seputar kondisi jamaah yang sedang di landa fitnah ini. Pada awalnya saya anggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dalam konteks wacana politik internal jamaah. Mungkin ada pihak-pihak luar yang melakukan infiltrasi dan mencoba untuk mempengaruhi dan memperkeruh kondisi internal PKS. Organisasi yang dijalankan dengan menggunakan pola structural fungsional seperti PKS ini, memerlukan katalisator dalam proses penyadaran dan pemahamanya yakni dengan menggunakan wacana. Pada tingkat tertentu hal ini memang harus dinggap wajar sambil berharap ada hikmah yang dapat dipetik dikemudian hari.

Pada saat seorang kader menanyakan kepada ketua Majelis Syura tentang kader-kader yang kritis atau “vocal” dan tidak memperhatikan adab dalam berbicara, beliau mengatakan; “Biarkan saja, saya khawatir kalau dilarang nanti tidak akan ada yang berani mengkritik qiyadah. Kalau mau ada ‘ilaj biarkan sistem yang melakukan itu melalui group-group halaqahnya.” Namun kemudian daya kritis tersebut berkembang menjadi sinisme yang berlebihan.

Bahkan kemudian mereka mengelompok (melembaga) dan bahkan membuat nama sendiri, struktur, program kerja, dan memiliki sasaran yang bertentangan dengan jamaah. Mereka juga kerap kerap menggunakan kata-kata yang kurang pantas dalam majelis-majelisnya. Semua hal itu membuat mereka sudah dapat disebut dissident element (unsur penentang) bagi jamaah ini. Karena mereka mulai merusak soliditas jamaah dari dalam secara perlahan-lahan sehingga menimbulkan perpecahan.

Sunnah Nabawiah secara tegas menjelaskan dan merincikan ajakan al-Qur’an kepada persatuan dan peringatan dari perpecahan dan perselisihan. Ia juga mengajak kepada kehidupan jamaah dan persatuan, mengecam tindakan nyeleneh (menyimpang) dan perpecahan, mengajak ukhuwah mahabbah. As-Sunnah mencela permusuhan serta perselisihan.
Saya teringat pendapat Dr Yusuf Qardhowi dalam hal perpecahan ummat Islam. Menurutnya menghindari perpecahan merupakan hal yang aula (diutamakan) dalam kontek ummat Islam di zaman sekarang ini, termasuk menghindari hal-hal yang menyebabkan perpecahan ummat dan jamaah islamiyah.

Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan, sampai-sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang sedang membaca al-Qur’an agar menghentikan bacaannya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jundah bin Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

“Bacalah al-Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian, tetapi jika kalian berselisih, hentikanlah bacaan itu”

Menurut Dr Yusuf Qardhowi maksud dari hadits diatas adalah; bubarlah dan pergilah supaya perselisihan itu tidak berlarut-larut lalu menimbulkan keburukan. Kendatipun keutamaan membaca al-Qur’an sangat besar, setiap huruf yang dibacanya mendapat sepuluh kebaikan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan membacanya apabila bacaan itu akan membawa kepada pertentangan dan perselisihan, baik perselisihan itu menyangkut qira’at maupun menyangkut adab-adab lainnya. Para sahabat diperintahkan agar membubarkan majelis pada saat terjadi perselisihan. Sementara itu, masing-masing mereka tetap diperbolehkan berpegang teguh dengan qira’at-nya, seperti terjadi antara Umar dan Hisyam atau antara Ibnu Mas’ud dan sebagian sahabat. Kepada kedua pihak, Rasulullah mengatakan, “Kalian semua membaca dengan bacaan yang baik.”

Jika perselisihan itu menyangkut pemahaman makna, kita harus membacanya dengan berpegang teguh kepada pemahaman dan pengertian yang akan menumbuhkan persatuan.

Beliau juga menjelaskan sebuah kisah di dalam al-Qur’an yang mengajarkan kepada kita agar senantiasa menjaga kesatuan jamaah. Kisah tersebut adalah kisah nabiyullah Musa ’alaihis salam ketika pergi untuk memenuhi ”panggilan” Allah selama empat puluh malam. Selama kepergiannya, tugas Nabi Musa digantikan oleh saudaranya nabiyullah Harun ’alaihis salam, dan selama itu pula, kaumnya diuji dengan penyembahan anak sapi yang dibuat oleh Samiri. Setelah kembali kepada kaumnya, Nabi Musa terkejut melihat penyimpangan besar yang menyentuh esensi aqidah yang dibawanya dan dibawa oleh semua Rasul sebelum ataupun sesudahnya.

Nabi Musa kemudian marah besar sehingga melemparkan lembaran-lembarannya (laukh)seraya menjambak rambut saudaranya dan berkata,

”Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka sesaat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”(Thaha[20]:94)

Jawaban Nabi Harun seperti disebutkan dalam al-Qur’an ialah,

“Ia (Harun) menjawab, ‘Hai anak bibiku, jangan engkau jambak jenggotku dan janganlah engkau tarik rambut kepalaku. Sesungguhnya, aku takut engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah bani Israel dan engaku tidak memelira perkataanku.” (Thaha [20]: 94)

Di dalam jawaban tersebut kita lihat bahwa Nabiyullah Harun meminta maaf kepada saudaranya dengan ungkapan, “Aku takut engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah bani Israel dan engkau tidak memelihara perkataanku”

Hal tersebut menunjukkan bahwa Nabiyullah Harun mendiamkan tindakan kemusyrikan besar dan penyembahan anak sapi yang dibuat oleh Samiri demi menjaga kesatuan jamaah dan khawatir akan perpecahannya. Tentu saja kekhawatiran tersebut hanya bersifat sementara, selama kepergian Musa. Setelah Nabi Musa kembali, kedua Rasul bersaudara ini bekerja sama lagi dalam menangani krisis aqidah yang muncul.
Demikian Dr Ysuf Qordhowi menjelaskan dengan segala hikmahnya.

Kita bias memahaminya dengan nalar bahwa seandainya Nabi Harun melarang bani Israel menyembah anak sapi sehingga terjadi perpecahan dan ummat menjadi hancur, maka sepulang Nabi Musa tidak ada yang bisa diperbuat lagi. Bila para kader jamaah mengerti bahayanya perpecahan, maka akan selalu memperhatikannya dengan sekuat tenaga dan akan menghindari segala macam kegiatan yang mengarah kepada perpecahan. Kalau jamaah ini sudah terlanjur pecah, maka apa yang tersisa dari ummat ini. Apakah budaya perpecahan ummat Islam di Indonesia tidak dapat dihentikan oleh tarbiyah ? jawabannya ada pada kita semua.

Marilah kita ingat pesan para ulama, bahwa seorang diri bisa saja lenyap, jatuh, atau disergap oleh setan-setan manusia dan jin. Akan tetapi, jika ia berada di dalam jamaah, ia akan terlindungi. Seperti seekor kambing yang berada di tengah kawannya. Tidak ada serigala yang berani memangsanya karena perlindungan kawananan itu sendiri. Serigala akan berani memangsanya manakala kambing itu keluar dari kawanannya atau berjalan sendirian.

Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits-hadits berikut.

”Kalian harus berjamaah karena tangan Allah bersama jamaah. Barangsiapa melesat sendirian maka ia akan meleset sendirian di neraka”
”Sesungguhnya, setan adalah serigala manusia, sedangkan serigala itu hanya memakan kambing yang lepas (dari kawanannya)”
”Kalian harus berjamaah karena setan itu bersama orang yang sendirian dan dia akan lebih jauh dari dua orang.”

wallahu a'lam

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Subhanallah. Tulisan seperti inilah yang ditunggu tunggu selama ini. Lebih dialogis. Pendekatannya tidak represif seperti tulisan-tulisan di beberapa blog lain. Saya sudah bookmark di komputer kantor saya. Mohon ijin untuk disebarkan. Apakah diperkenankan, Bang? Syukron Bang.

Ikhlaslah Beramal mengatakan...

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua...terimakasih telah berkunjung ke blog ib. Oh boleh saja kalau mau disebarkan.. salam hormat untuk saudaraku Sutan.

DPRa Benda Baru Pamulang mengatakan...

insyaAlloh sy link ya