Anda Pengunjung Ke

Jumat, 23 Januari 2009



Hasrat Berjuang


Oleh :. Ahmad Feri Firman



Alhamdulillah wa shalatu wa salamu ala Rasulillah wa alaa aalihi wa shahbihi wa man waa laah.

Wa ba’du.




“Ketahuilah bahwa syari’at itu fondasi, sedangkan sulthon(pemerintahan) adalah penjaganya. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang” –Imam Al-Ghazali–

Ikhwah sekalian,

Bagi kaum Muslimin memiliki sebuah negara yang di dalamnya setiap individu bebas mengekspresikan nilai-nilai Ilahiyah dan bebas melaksanakan syariat Islam, merupakan cita-cita yang harus terpatri dalam lubuk hati. Hal itu merupakan konsekuensi kesediaan kita sebagai manusia menerima amanah sebagai khalifah fil ardh. Tanpa adanya negara yang berpihak kepada Islam, akan sulit bagi tiap individu muslim untuk menunaikan nilai-nilai ilahiyah dan melaksanakan syari’at Islam secara lengkap. Karena banyak persoalan dalam Islam yang memerlukan otoritas negara.


Sahabat Utsman bin Affan dalam sebuaah Atsar mengatakan;


“Sesungguhnya Allah menjalankan (aturan Islam) dengan sulthon (kekuasaan) terhadap apa yang tidak bisa dijalankan dengan Al-Qur’an”


Dr Yusuf al-Qardhawi menegaskan dalam Tarbiyah Politik Hasan Al-Banna, bahwa ”Pemerintahan yang Islami merupakan kewajiban syar’i dan sekaligus kebutuhan ummat manusia”.

Artinya negara dan pemerintahan adalah bagian dari agama yang tidak dapat diabaikan. Implikasi pengabaian kekuasaan dan negara sama dengan mengabaikan agama itu sendiri baik sebagai pribadi ataupun kelompok.

Sejak tahun 1998 gerakan dakwah telah meluaskan wilayah kerjanya dengan masuk ke kancah perjuangan politik dalam bentuk partai politik sebagai langkah awal menuju cita-cita terbentuknya negara sebagaimana disebutkan di atas. Sebagai partai dakwah PKS mewaspadai demokrasi rekayasa dan tidak subtantif yang bersifat dekoratif karena itu sama saja dengan kekuasaan yang cacat (despoils). Tentu kita masih mengingat dengan jelas kisah ABG (ABRI, birokrat, dan Golkar) di zaman Orde Baru sebagai barisan yang diciptakan untuk merekayasa politik dan pemilu.


Dinamika politik berpusat pada proses dan pelaksanaan pemilu, karena melalui pemilu inilah kekuasaan mendapatkan legitimasi politik. Oleh karena itu PKS memandang sangat penting mengerahkan seluruh potensi untuk ikut terlibat dan sekaligus mengawal pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Artinya bahwa seluruh kader dimanapun berada harus antusias mengikuti dan mendukung arahan-arahan partai, karena pengabaian terhadap pemilu sama saja dengan mengabaikan target perjuangan dakwah yang dicita-citakan.


Namun dalam pelaksanaannya di lapangan banyak sekali persoalan yang menghadang, baik yang dilakukan oleh kader internal karena kurangnya pemahaman ataupun yang secara sistematis direkayasa oleh pihak luar. Hal seperti itu seharusnya kita sadari bahwa pihak lain selalu berusaha mengintai dan mencari kelemahan partai sehingga dapat digunakan untuk menyimpangkan dan melemahkan perjuangan para kader.


Di antara hal yang sering membuat perjuangan mandul adalah persoalan internal, yaitu para kader yang terserang penyakit ragu sehingga menghilangkan Hasrat berjuang (ruhul Jihad). Padahal hasrat berjuang merupakan modal utama yang harus dimiliki kader dakwah dalam menjalankan tugas-tugasnya, menurut syeikh Muhammad Jamaludin Ali Mahfudz. Ada tiga model orang yang terkena serangan kondisi seperti ini, pertama; mereka yang sangat minim pengetahuan. Sehingga mereka tidak memiliki kesadaran dalam menjalankan aktifitasnya dalam politik dan tahapan-tahapannya, bahkan sebagian mereka merasa heran mengapa ada aktivis dakwah lain yang begitu gigih menjalankan program partai dan kegiatan kampanye padahal dia bukan Calon Anggota Legislatif (CALEG).

Suatu ketika Rasulullah ingin mengangkat semangat para sahabatnya dalam ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasulullah; maka beliau menceritakan tentang perbedaan ummat Rasulullah dan ummat Nabi Isa dalam berjuang. Ummat Rasulullah dan ummat Nabi Isa, keduanya tunduk kepada perintah Rasul dan Nabinya. Ummat Nabi Isa menerima perintah dengan wajah senyum dan menatap ke depan pada saat diperintah ke medan yang subur dan sejuk, sementara bila diperintah ke medan yang panas dan gersang, mereka akan bermuka masam dengan kepala merunduk hingga seolah-olah hendak menyentuh lututnya. Sedangkan sebaliknya ummat Rasulullah akan tetap tersenyum dan menatap ke depan ke mana pun mereka diperintahkan, baik ke medan yang gersang ataupun medan yang sejuk lagi subur.

Seperti itu pula seharusnya seorang aktivis yang bekerja dengan pengetahuan cukup, tidak mengukur sesuatu hanya berdasarkan pertimbangan menguntungkan bagi dirinya atau tidak, tidak pula karena pujian dan ucapan terima kasih dari orang lain. Dia akan bekerja karena Allah swt semata.

Imam Syahid Hasan Al-Banna telah mengisyaratkan dalam Ushul ‘Isyriin (Prinsip Dua Puluh) bahwa di samping prinsip negara dan tanah air, juga ada prinsip pemerintah serta ummat Islam secara keseluruhan. Artinya persoalan politik adalah persoalan eksistensi Islam dan ummat Islam, persoalan yang menghajatkan keterlibatan seluruh kader dalam politik dan kewajiban ini tidak dapat di abaikan begitu saja. Rasulullah mengatakan dalam sebuah hadits; “man lam yahtam bi amril mu’minin fa laisa minhum” Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan ummat Islam, maka dia bukan bagian dari mereka (kaum muslimin).

Kedua; sebagian kader yang mulai enggan hatinya untuk berjuang karena terganggu oleh ejekan, propaganda, dan hasutan kelompok lain yang dengan sengaja menguras habis hasrat berjuang para kader aktifis dakwah. Mereka dibombardir dengan berbagai informasi yang bias sehingga membuat mereka bersikap defensive serta sibuk mencari dalil untuk membela diri dan lupa pada fokus perjuangannya. Dalam konteks seperti ini para kader harus menyadari sepenuhnya bahwa pertempuran politik pada hakekatnya adalah pertempuran psikologi. Pertempuran yang menyerang mental manusia dengan target hancurnya hastrat berjuang para pembelanya.
Aktivis yang terkena serangan seperti ini akan melakukan aktivitas partai dengan malu-malu. Setiap kali emosinya hilang-timbul sesuai dengan gelombang serangan propaganda kelompok lain dibarengi dengan krisis kepercayaan terhadap jamaah. Pertanyaan dan jawaban yang berkembang seperti awan hitam berkelindan menutup cahaya. Digambarkan dalam Al-Quran seperti seorang dalam kegelapan hujan disertai petir dan kilat, mereka menyumbat telinganya dengan jari-jarinya karena takut mati.

Ketiga; Model aktifis yang ketiga adalah mereka yang hasrat berjuangnya tidak padam karena halangan, bahkan semakin kuat dan tajam namun arah perjuangannya melenceng tidak sesuai sasaran. Hasrat berjuang yang begitu besar tersebut justru diarahkan untuk menyerang saudaranya sendiri. Menurut istilah Syeh Yusuf Qordhowi mereka telah rusak pemahamannya terhadap perjuangan dakwah, bahkan mereka telah terbalik dalam hal prinsip-prinsipnya.

Mereka memiliki sifat yang mudah panik dan pengecut. Ejekan kelompok lain yang tak berdasar menjadi hujjah mengumpat mencaci dengan lidahnya yang sangat tajam sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Ahzab 19.



“Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu akan lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapus (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”
(AL-Ahzab : 19).

Hanya karena perbedaan kecil (furu’), mereka rela dakwah ini kalah hanya untuk membuktikan kebenaran pendapatnya. Mereka telah memberi peluang kemenangan bagi kelompok lain yang lebih jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka berada dalam barisan dakwah akan tetapi turut menghancurkan hasrat berjuang saudaranya yang lain.

Di samping persoalan internal juga persoalan eksternal khususnya adanya praktek manipulasi dalam proses pemilu. Yaitu usaha usaha ilegal pada proses pemilihan baik yang di sebut money politic, atau penggelembungan suara. Dan bila hal ini terjadi sangat dimungkinkan hasil perjuangan seluruh kader baik tenaga, waktu, dan dana akan hilang percuma.

Sebenarnya partai telah berusaha untuk mempersiapkan diri menghadapi itu semua, tapi tentu saja harus mendapat dukungan dari seluruh kader dan pendukung. Khususnya mobilisasi keamanan dan saksi pada H-2 hingga pada hari H pemilihan umum. Sadarilah bahwa pemilu adalah jihad kita dalam rangka menegakkan kekuasaan yang sesuai dengan cita-cita kita sebagai kaum muslimin. Dan bila kita yakin bahwa pemilu adalah jihad, maka berjaga di hari-hari pemilu dapat digolongkan Ribath. Dan apapun pendapat kita tentang hal ini, semoga hadits berikut menambah semangat kita dalam mengawal hasil kerja keras seluruh kader dan simpatisan.

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma beliau bersabda.

“Maukah kalian aku beritahu dengan suatu malam yang lebih baik dari lailatul qadar ? Yaitu orang yang hirosah (ribath/berjaga) di daerah yang ditakuti, karena barangkali tak akan kembali kepada keluarganya.”

Marilah kita berjuang hanya karena Allah semata. Dan bila prinsip ini dijalankan bersama insya Allah secara perlahan tapi pasti ancaman dan gangguan akan sirna. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Syekh Taufiq Yusuf Al-Wa’iy; “Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa Ikhwanul Muslimun telah dan terus bekerja dengan hanya mengharap ridla Allah, tidak menunggu ucapan terima kasih dan balasan dari seorangpun. Mereka yakin bahwa ketika mereka bekerja, mereka tengah melakukan sebagian dari kewajiban yang di tuntut Islam dari putra-putranya, meskipun masih banyak kekurangannya di sana-sini.”

Wallahu a’lam bishowab.

Rabu, 17 Desember 2008

Pilar Kekuatan Jamaah Dakwah




Disarikan dari Taujih : Ust. Hasan B hafizahullah

dosen Ma'had Dirosat Al-Hikmah

Disarikan oleh
Ahmad Feri Firman


Alhamdulillah wa shalatu wa salamu ala Rasulillah wa alaa aalihi wa shahbihi wa man waa laah. Wa ba’du.

Ikhwah sekalian,

Saya sangat senang bertemu dengan Antum semua sebagai tokoh-tokoh dakwah. Perlu Antum ketahui, bahwa perang hakiki yang kita hadapi hari ini adalah jiwa (perang urat syaraf). Oleh karenanya, gerak yang kita lakukan harus diawali dengan membentuk dan membina pribadi muslim. Dan sarana utama kita dalam kebangkitan ini adalah kaderisasi. Adapun ruang lingkupnya adalah bagaimana kita membentuk aktivis dakwah yang bisa menanggung misi kebangkitan secara komprehensif. Kebangkitan ini hanya bisa dilakukan oleh satu shaff barisan yang utuh dengan ruh ukhuwwah dan terdiri dari orang-orang yang saling menguatkan serta percaya dengan pemimpinnya. Merekalah yang akan mampu memimpin umat Islam karena mampu menghadapi tantangan dan membenci perpecahan.

Bisa saja pada saat melewati ragam problematika di jalan dakwah, kita lupa terhadap masalah asasi, yaitu ikatan barisan dakwah dengan tali ukhuwwah. yang terjalin di atas akal dan hati. Bukan sekedar ikatan artifisial dan bukan pula sekedar keanggotaan partai atau jamaah saja, melainkan keterikatan dengan ikatan keimanan.

Ikhwah rahimakumullah,
Persaudaraan dan ukhuwwah yang kita wujudkan agar dapat menembus ruang dan waktu hidup kita hingga ke akhirat harus didasarkan karena Allah swt, bukan karena yang lain. Dengan demikian tantangan yang kita hadapi meskipun besar akan menjadi ringan bila kita hadapi dengan ukhuwwah. Bahkan tatkala kita memiliki ukhuwwah yang baik, sebuah tantangan yang diarahkan kepada kita akan memperkuat kita sendiri.

Sebagaimana Imam Hasan Al Banna rahimahullah mengatakan, ”Asasu da’watina al hubbu fillah wa tarahum.” Landasan dakwah kita adalah cinta karena Allah dan kasih sayang. Kata-kata al hubbu fillah (cinta karena Allah) bukan sekedar kata-kata, bukan hanya ucapan, dan bukan pula sekedar syiar simbol. Siapapun yang mengatakannya, harus sadar tuntutan konsekwensi kata-kata itu.

Ikhwah rahimakumullah,
Allah swt menyaksikan apa yang kita katakan, dan ucapkan dari mulut kita apakah jujur atau tidak. Setiap segala sesuatu ada hakikatnya yang bisa diterjemahkan dalam kenyataan. Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan, “Al ukhuwah fillah, laa yadzuuquha illa man dzaaqaha.” Ukhuwwah di jalan Allah, tak bisa dirasakan kenikmatannya kecuali oleh orang yang telah merasakan nikmatnya. Lihatlah bagaimana para sahabat berinteraksi sesama mereka dengan cinta dan ukhuwwah. Meskipun ada perselisihan di antara mereka, tapi perselisihan itu tidak merusak kasih sayang yang ada di antara mereka.

Begitulah, Allah telah menanamkan kasih sayang dalam jiwa mereka. Sehingga sebenarnya yang menjadi masalah bukan terletak pada hal yang diperselisihkan, tapi pada kedengkian yang muncul dalam jiwa orang-orang yang berselisih itu. Sedangkan bila di bawah naungan cinta, bukannya kita tidak pernah berselisih, namun kita akan mengerti bagaimana sikap kita ketika berselisih, berdiskusi, dan beradu argumentasi. Islam mengajarkan kita untuk menjadikan cinta karena Allah menjadi landasan dalam setiap perbuatan.

Sesungguhnya, sikap paling buruk adalah bila kita menguliti pakaian saudara kita, yaitu dengan membongkar aib saudara kita. Bahkan Allah swt mengistilahkan seperti memakan bangkai saudaranya yang sudah mati.

Menurut Ahmad bin Hambal, 90 persen kebaikan akhlak adalah dengan pura pura mengabaikan informasi yang buruk. Bila kita tidak bisa memberi udzur(alasan), kita cari alasan lain untuk saudara kita. Jangan kehabisan alasan untuk saudara kita. Ini adalah manhaj Islam. Kita juga harus mengerti bahwa jalan pikiran orang berbeda-beda. Karena itu, dalam jamaah Ikhwan, hak menentukan pendapat mana dan siapa yang harus didukung ada pada qiyadah. Imam Al Banna sejak sejumlah Ikhwah berbaiat kepadanya sudah bertanya, ”Apakah kalian siap mengalah dalam mengikuti masalah ijtihadiyah para qiyadah?” Hak pemimpin adalah menentukan mana dan siapa yang harus diikuti. Dalam majlis syuro setiap orang bisa menyampaikan apa saja secara bebas. Tapi bila syuro sudah menetapkan qarar maka tidak ada lagi hak pribadi untuk menyampaikan pendapat. Kita harus ridha dengannya.

Ukhuwwah karena Allah adalah kenikmatan yang hadir karena keimanan. Ukhuwwah akan terhalang bila tanpa keimanan. Sama dengan hadits yang menceritakan bahwa seorang mukmin tidak akan berzina, ketika dia beriman. Demikian juga, seorang mukmin takkan menyakiti saudaranya dan takkan menodai persaudaraannya sesama mukmin bila dia beriman. Ketika seseorang telah bicara tentang keburukan saudaranya, berarti keimanannya telah rusak. Dan berarti ia berdusta ketika kita mengatakan, engkau adalah saudaraku di jalan Allah. Ia sesungguhnya tidak tahu apa arti ukhuwwah, apa fiqih ukhuwwah.

Ikhwah sekalian,
Sebagai Muslim, ketika ingin mengatakan sesuatu kita harus menghadirkan niat. Sebagaimana ucapan seorang sahabat yang menyebutkan, ”Sejak aku baiat kepada Rasulullah tak pernah keluar dari mulutku kecuali, setiap aku ingin bicara tertahan lebih dahulu, dan aku pertimbangkan apa akibatnya.” Tidak sebagaimana orang-orang munafiqin yang menceritakan isu-isu negatif dengan mulut mereka, Allah swt menyebutkan bahwa mereka menganggap apa yang mereka katakan itu ringan saja, padahal sangat berat dosanya di sisi Allah swt.

Ikhwah sekalian,
Tiga hal yang menjadi buah dari ukhuwah adalah. Pertama; Ukhuwwah ini adalah bagian dari keimanan kita dan karena keimanan itu kita menjadi saling merekat. Kedua; Ukhuwwah adalah senjata qiyadah, dalam mencapai tujuan, dalam merealisasi target. Ketiga; Ukhuwwah adalah senjata paling ampuh, untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.
Saya ingin contohkan masalah yang dialami Ali bin Abi Thalib ra. Sahabat Nabi yang sudah jelas kemusliman dan keimanannya, kapasitas ilmu, akal, ruhani, ibadahnya, juga keberanian dan kekuatannya. Akan tetapi sebab musabab yang memunculkan perang Shiffin antara kelompok Ali dan Mu’awiyah dipicu oleh informasi dusta yang terus menerus disampaikan oleh kelompok Syiah, dan secara terus menerus diprovokasi, dipancing dengan ejekan ”Ali adalah pemberani, tapi tak pandai berperang.” sehingga terpengaruh dan terprovokasi..

Ikhwah sekalian,
Ketika Hasan bin Ali pernah ingin mengalah dan menyepakati perdamaian dengan Mu’awiyah, padahal ia bersama 12 ribu pasukan yang siap berperang. Namun kelompok Syiah tidak ingin urung berperang. Mereka tidak ingin Hasan bin Ali mengalah. Ketika itulah Hasan bin Ali mengatakan, ”Apa yang kalian benci dalam berjamaah, lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan. Karena Tangan Allah bersama jamaah. Perpecahan adalah saudara kufur, kesatuan adalah saudara keimanan.”

Ikhwah sekalian,
Ingat, bahwa buah ukhuwwah, akan kembali pada diri kita sendiri, pada jamaah, pada masyarakat, dan pada lingkup yang luas dari itu. Jika kita saling mencinta karena Allah, dan kita ikhlash, mudah mudahan itu menjadi bekal kita bisa menggenggam kemenangan dengan dakwah ini.
Untuk Selengkapnya Silakan di unduh: Taujih : Ust. Hasan B hafizahullah

Wallahu a’lam

Senin, 15 Desember 2008

Persatuan Merupakan Benteng Pertahanan Umat

Ahmad Feri Firman

Saya merenung dalam waktu yang cukup panjang seputar kondisi jamaah yang sedang di landa fitnah ini. Pada awalnya saya anggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dalam konteks wacana politik internal jamaah. Mungkin ada pihak-pihak luar yang melakukan infiltrasi dan mencoba untuk mempengaruhi dan memperkeruh kondisi internal PKS. Organisasi yang dijalankan dengan menggunakan pola structural fungsional seperti PKS ini, memerlukan katalisator dalam proses penyadaran dan pemahamanya yakni dengan menggunakan wacana. Pada tingkat tertentu hal ini memang harus dinggap wajar sambil berharap ada hikmah yang dapat dipetik dikemudian hari.

Pada saat seorang kader menanyakan kepada ketua Majelis Syura tentang kader-kader yang kritis atau “vocal” dan tidak memperhatikan adab dalam berbicara, beliau mengatakan; “Biarkan saja, saya khawatir kalau dilarang nanti tidak akan ada yang berani mengkritik qiyadah. Kalau mau ada ‘ilaj biarkan sistem yang melakukan itu melalui group-group halaqahnya.” Namun kemudian daya kritis tersebut berkembang menjadi sinisme yang berlebihan.

Bahkan kemudian mereka mengelompok (melembaga) dan bahkan membuat nama sendiri, struktur, program kerja, dan memiliki sasaran yang bertentangan dengan jamaah. Mereka juga kerap kerap menggunakan kata-kata yang kurang pantas dalam majelis-majelisnya. Semua hal itu membuat mereka sudah dapat disebut dissident element (unsur penentang) bagi jamaah ini. Karena mereka mulai merusak soliditas jamaah dari dalam secara perlahan-lahan sehingga menimbulkan perpecahan.

Sunnah Nabawiah secara tegas menjelaskan dan merincikan ajakan al-Qur’an kepada persatuan dan peringatan dari perpecahan dan perselisihan. Ia juga mengajak kepada kehidupan jamaah dan persatuan, mengecam tindakan nyeleneh (menyimpang) dan perpecahan, mengajak ukhuwah mahabbah. As-Sunnah mencela permusuhan serta perselisihan.
Saya teringat pendapat Dr Yusuf Qardhowi dalam hal perpecahan ummat Islam. Menurutnya menghindari perpecahan merupakan hal yang aula (diutamakan) dalam kontek ummat Islam di zaman sekarang ini, termasuk menghindari hal-hal yang menyebabkan perpecahan ummat dan jamaah islamiyah.

Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan, sampai-sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang sedang membaca al-Qur’an agar menghentikan bacaannya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jundah bin Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

“Bacalah al-Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian, tetapi jika kalian berselisih, hentikanlah bacaan itu”

Menurut Dr Yusuf Qardhowi maksud dari hadits diatas adalah; bubarlah dan pergilah supaya perselisihan itu tidak berlarut-larut lalu menimbulkan keburukan. Kendatipun keutamaan membaca al-Qur’an sangat besar, setiap huruf yang dibacanya mendapat sepuluh kebaikan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan membacanya apabila bacaan itu akan membawa kepada pertentangan dan perselisihan, baik perselisihan itu menyangkut qira’at maupun menyangkut adab-adab lainnya. Para sahabat diperintahkan agar membubarkan majelis pada saat terjadi perselisihan. Sementara itu, masing-masing mereka tetap diperbolehkan berpegang teguh dengan qira’at-nya, seperti terjadi antara Umar dan Hisyam atau antara Ibnu Mas’ud dan sebagian sahabat. Kepada kedua pihak, Rasulullah mengatakan, “Kalian semua membaca dengan bacaan yang baik.”

Jika perselisihan itu menyangkut pemahaman makna, kita harus membacanya dengan berpegang teguh kepada pemahaman dan pengertian yang akan menumbuhkan persatuan.

Beliau juga menjelaskan sebuah kisah di dalam al-Qur’an yang mengajarkan kepada kita agar senantiasa menjaga kesatuan jamaah. Kisah tersebut adalah kisah nabiyullah Musa ’alaihis salam ketika pergi untuk memenuhi ”panggilan” Allah selama empat puluh malam. Selama kepergiannya, tugas Nabi Musa digantikan oleh saudaranya nabiyullah Harun ’alaihis salam, dan selama itu pula, kaumnya diuji dengan penyembahan anak sapi yang dibuat oleh Samiri. Setelah kembali kepada kaumnya, Nabi Musa terkejut melihat penyimpangan besar yang menyentuh esensi aqidah yang dibawanya dan dibawa oleh semua Rasul sebelum ataupun sesudahnya.

Nabi Musa kemudian marah besar sehingga melemparkan lembaran-lembarannya (laukh)seraya menjambak rambut saudaranya dan berkata,

”Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka sesaat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”(Thaha[20]:94)

Jawaban Nabi Harun seperti disebutkan dalam al-Qur’an ialah,

“Ia (Harun) menjawab, ‘Hai anak bibiku, jangan engkau jambak jenggotku dan janganlah engkau tarik rambut kepalaku. Sesungguhnya, aku takut engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah bani Israel dan engaku tidak memelira perkataanku.” (Thaha [20]: 94)

Di dalam jawaban tersebut kita lihat bahwa Nabiyullah Harun meminta maaf kepada saudaranya dengan ungkapan, “Aku takut engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah bani Israel dan engkau tidak memelihara perkataanku”

Hal tersebut menunjukkan bahwa Nabiyullah Harun mendiamkan tindakan kemusyrikan besar dan penyembahan anak sapi yang dibuat oleh Samiri demi menjaga kesatuan jamaah dan khawatir akan perpecahannya. Tentu saja kekhawatiran tersebut hanya bersifat sementara, selama kepergian Musa. Setelah Nabi Musa kembali, kedua Rasul bersaudara ini bekerja sama lagi dalam menangani krisis aqidah yang muncul.
Demikian Dr Ysuf Qordhowi menjelaskan dengan segala hikmahnya.

Kita bias memahaminya dengan nalar bahwa seandainya Nabi Harun melarang bani Israel menyembah anak sapi sehingga terjadi perpecahan dan ummat menjadi hancur, maka sepulang Nabi Musa tidak ada yang bisa diperbuat lagi. Bila para kader jamaah mengerti bahayanya perpecahan, maka akan selalu memperhatikannya dengan sekuat tenaga dan akan menghindari segala macam kegiatan yang mengarah kepada perpecahan. Kalau jamaah ini sudah terlanjur pecah, maka apa yang tersisa dari ummat ini. Apakah budaya perpecahan ummat Islam di Indonesia tidak dapat dihentikan oleh tarbiyah ? jawabannya ada pada kita semua.

Marilah kita ingat pesan para ulama, bahwa seorang diri bisa saja lenyap, jatuh, atau disergap oleh setan-setan manusia dan jin. Akan tetapi, jika ia berada di dalam jamaah, ia akan terlindungi. Seperti seekor kambing yang berada di tengah kawannya. Tidak ada serigala yang berani memangsanya karena perlindungan kawananan itu sendiri. Serigala akan berani memangsanya manakala kambing itu keluar dari kawanannya atau berjalan sendirian.

Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits-hadits berikut.

”Kalian harus berjamaah karena tangan Allah bersama jamaah. Barangsiapa melesat sendirian maka ia akan meleset sendirian di neraka”
”Sesungguhnya, setan adalah serigala manusia, sedangkan serigala itu hanya memakan kambing yang lepas (dari kawanannya)”
”Kalian harus berjamaah karena setan itu bersama orang yang sendirian dan dia akan lebih jauh dari dua orang.”

wallahu a'lam